Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas,
arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen
utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan
Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham
Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer, arti
motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan
oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat
diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa
yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Berbeda
dengan motivasi dalam pengertian yang berkembang di masyarakat yang seringkali
disamakan dengan semangat, seperti contoh dalam percakapan "saya
ingin anak saya memiliki motivasi yang tinggi". Statemen ini bisa
diartikan orang tua tersebut menginginkan anaknya memiliki semangat belajar
yang tinggi. Maka, perlu dipahami bahwa ada perbedaan penggunaan istilah
motivasi di masyarakat. Ada yang mengartikan motivasi sebagai sebuah alasan,
dan ada juga yang mengartikan motivasi sama dengan semangat.
Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas,
intensitas terkait dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi intensitas
tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut
dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi.
Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa
lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.
Motivasi dalam organisasi
Lima fungsi utama manajemen yang pertama adalah :
1. planning,
2.
organizing,
3.
staffing,
4.
leading,
5.
controlling.
Pada pelaksanaannya, setelah rencana
dibuat (planning), organisasi dibentuk (organizing), dan disusun personalianya
(staffing), maka langkah berikutnya adalah menugaskan/mengarahkan karyawan
menuju ke arah tujuan yang telah ditentukan.
Fungsi
pengarahan (leading) ini secara sederhana adalah membuat para karyawan
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan dan harus mereka lakukan.
Memotivasi karyawan merupakan kegiatan kepemimpinan yang termasuk di dalam
fungsi ini.
Kemampuan manajer
untuk memotivasi karyawannya akan sangat menentukan efektifitas manajer.
Manajer harus dapat memotivasi para bawahannya agar pelaksanaan kegiatan dan
kepuasan kerja mereka meningkat.
Berbagai
istilah digunakan untuk menyebut kata ‘motivasi’ (motivation) atau motif,
antara lain :
kebutuhan
(need), desakan (urge), keinginan (wish), dan dorongan (drive). Dalam hal ini,
akan digunakan istilah motivasi yang diartikan sebagai keadaan dalam pribadi
seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu guna mencapai tujuan.
Motivasi
menunjuk kepada sebab, arah, dan persistensi perilaku. Kita bicara mengenai
penyebab suatu perilaku ketika kita bertanya tentang mengapa seseorang
melakukan sesuatu. Kita bicara mengenai arah perilaku seseorang ketika kita
menanyakan mengapa ia lakukan suatu hal tertentu yang mereka lakukan. Kita
bicara tentang persistensi ketika kita bertanya keheranan mengapa ia tetap
melakukan hal itu (Berry, 1997).
Suatu organisme
(manusia/hewan) yang dimotivasi akan terjun ke dalam suatu aktivitas secara
lebih giat dan lebih efisien daripada yang tanpa dimotivasi. Selain menguatkan
organisme itu, motivasi cenderung mengarahkan perilaku (orang yang lapar
dimotivasi untuk mencari makanan untuk dimakan; orang yang haus, untuk minum;
orang yang kesakitan, untuk melepaskan diri dari stimulus/rangsangan yang
menyakitkan (Atkinson, Atkinson, & Hilgard, 1983).
Sampai pada
abad 17 dan 18, para pakar filsafat masih berkeyakinan bahwa konsepsi
rasionalisme merupakan konsep satu-satunya yang dapat menerangkan
tindakan-tindakan yang dilakukan manusia. Konsep ini menerangkan bahwa manusia
adalah makhluk rasional dan intelek yang menentukan tujuan dan melakukan
tindakannya sendiri secara bebas berdasarkan nalar atau akalnya. Baik-buruknya
tindakan yang dilakukan oleh seseorang sangat tergantung dari tingkat
intelektual orang tersebut.
Pada masa-masa
berikutnya, muncul pandangan mekanistik yang beranggapan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh manusia timbul dari adanya kekuatan internal dan eksternal,
diluar kontrol manusia itu sendiri. Hobbes (abad ke-17) mengemukakan doktrin
hedonisme-nya yang menyatakan bahwa apapun alasan yang diberikan oleh seseorang
atas perilakunya, sebab-sebab terpendam dari semua perilakunya itu adalah adanya
kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan.
Teori
motivMotivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat
menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu
kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi
intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat
motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas
perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam
kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya
tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama
dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks
studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk
memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:
(1) durasi kegiatan;
(2) frekuensi
kegiatan;
(3) persistensi
pada kegiatan;
(4) ketabahan, keuletan
dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan;
(5) devosi dan
pengorbanan untuk mencapai tujuan;
(6) tingkat
aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan;
(7) tingkat
kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang
dilakukan;
(8) arah sikap
terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu
dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H.
Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi);
(3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor);
(5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom
(teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori
Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi,
2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus
Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167).
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H.
Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat
atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological
needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman
(safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental,
psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam
berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization),
dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi
yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis)
dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya
dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya
dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat
klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan
intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena
manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu
tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental,
intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin
banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin
mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional,
teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami
“koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep
“hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat
diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya
ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada
pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan
kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat
pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan
diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang
berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan
bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman
menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara
simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang
bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta
ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat
apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan
sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
- Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
- Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
- Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini
tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami
bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan
berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk
mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa
motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan
prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan
prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau
pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek
fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan
seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala,
mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu
menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui
penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang
berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah
preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2)
menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya
mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran
misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka,
dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim
“ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah
yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness
(kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan
pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak
dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau
model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat
dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “
Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep
Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut
Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia
itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak
lebih lanjut akan tampak bahwa :
- Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
- Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
- Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat
pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang
dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara
lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi
penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal
dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor
hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional
adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti
bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene
atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti
bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam
kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor
motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih,
kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan
faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang
dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan
seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh
para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi,
kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia
terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi
kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang
pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua
kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
- Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
- Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai
biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
- Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
- Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
- Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
- Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini
berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu
waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan
para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif
bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering
terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan
perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan
memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan
mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan
meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan
rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif
tentang penetapan tujuan.
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And
Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori
Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang
ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya
akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang
sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya,
yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori
harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk
memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong
untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan
memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan
menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber
daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan
tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan
hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk
mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman
menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang
diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas
di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan
pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti
sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan
diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi
ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar
diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan
“hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi
perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan
perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi
yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik
yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik
tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada
kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi
perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih
teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya
dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah,
yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian
hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang
terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai
ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan
sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada
modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu
model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem
motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model
tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para
pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan
imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri
sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan;
(f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi
seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok
kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi
lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
Nama : Khoko jannatul pratama
NPM : 37111831
Kelas : 1DB11
NPM : 37111831
Kelas : 1DB11