Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi)
seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam
melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu
sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa
kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas
perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam
kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya
tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama
dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam
konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk
memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:
(1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4)
ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan;
(5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang
hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi
atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap
terhadap sasaran kegiatan.
Untuk
memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang
motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2)
Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer
(Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6)
Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori
Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan
Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P.
Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred
Luthan,140-167).
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori
Kebutuhan)
Teori
motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada
pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
(1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus,
istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti
fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem
needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5)
aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi
seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga
berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi
kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia
itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang
unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan
tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik
pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia
dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan,
bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut
terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh
Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi
berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai
dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep
tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak
akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan-
sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi;
yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman,
demikian pula seterusnya.
Berangkat
dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin
mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi
juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan
berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil
memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati
rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini,
perlu ditekankan bahwa :
§ Kebutuhan yang satu saat sudah
terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
§ Pemuasaan berbagai kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif
menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
§ Berbagai kebutuhan tersebut tidak
akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana
seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini
tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami
bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan
berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori
Kebutuhan Berprestasi)
Dari
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need
for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai
dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip
oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“
Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau
mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal
tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku.
Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak
untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut
McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers)
memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan
tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di
mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena
faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik
tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang
berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori
“ERG)
Teori
Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer
merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence
(kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan
pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika
makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama,
secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan
oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan
hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan
hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”
mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori
Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan
pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan
tampak bahwa :
§ Makin tidak terpenuhinya suatu
kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
§ Kuatnya keinginan memuaskan
kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah
telah dipuaskan;
§ Sebaliknya, semakin sulit
memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk
memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya
pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi
obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada
hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua
Faktor)
Ilmuwan
ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi
Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari
motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut
teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong
berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri
seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan
adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar
diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut
Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah
pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan
dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau
pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi,
sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang
berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
5. Teori Keadilan
Inti
teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan
kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan
yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa
imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
§ Seorang akan berusaha memperoleh
imbalan yang lebih besar, atau
§ Mengurangi intensitas usaha yang
dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam
menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal
sebagai pembanding, yaitu :
§ Harapannya tentang jumlah imbalan
yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti
pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
§ Imbalan yang diterima oleh orang
lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama
dengan yang bersangkutan sendiri;
§ Imbalan yang diterima oleh
pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan
sejenis;
§ Peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan
hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas
di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan
timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka
akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan,
tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam
penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan
pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke
organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal
setting theory)
Edwin
Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan
mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d)
tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan
berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.
7. Teori Victor H. Vroom (Teori
Harapan )
Victor
H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan
suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini,
motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan
perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan
dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang
menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu.
Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis,
motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di
kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan
ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian
kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya
serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya
itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para
pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi
cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi
Perilaku
Berbagai
teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai
model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan
persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya
pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal
dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang
ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan
tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut
berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam
hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan
bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi
yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku
yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh
yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya
dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari
atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena
juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong
bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha
meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer
sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan
mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh
sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat
teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi
indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi
negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu
datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan
Prestasi.
Bertitik
tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam
arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus
menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut
model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal
adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c)
harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g)
prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c)
organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem
imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
TEORI MOTIVASI KEBUTUHAN :
I. TEORI MOTIVASI KEBUTUHAN : ABRAHAN H. MASLOW
TEORI INI LEBIH DIKENAL DENGAN TEORI HIERARCHI KEBUTUHAN.
PERILAKU INDIVIDU MENURUT TEORI INI AKAN DITENTUKAN OLEH KEBUTUHAN YANG PALING KUAT
II. TEORI MOTIVASI HYGIENE : FREDERICK HERZBERG
BIASA JUGA DISEBUT TEORI MOTIVASI DUA FAKTOR :
PADA DASARNYA HAMPIR SAMA DENGAN TEORI MOTIVASI MASLOW.
FAKTOR HYGIENE BERSIFAT PREFENTIF DAN MEMPERHITUNGKAN LINGKUNGAN YANG BERUBUNGAN DENGAN KERJA. FAKTOR INI KIRA-KIRA TIDAK JAUH BEDANYA DENGAN SUSUNAN BAWAH DARI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW.
FAKTOR HYGIENE INI MENCEGAH KETIDAK PUASAN, TETAPI BUKAN PENYEBAB TERJADINYA KEPUASAN.
MENURUT HERZBERG, FAKTOR INI TIDAK MEMOTIVASI KARYAWAN DALAM BEKERJA. ADAPUN FAKTOR YANG DAPAT MEMOTIVASI KARYAWAN ADALAH MOTIVATOR YANG KIRA-KIRA SAMA DENGAN TINGKAT YANG LEBIH TINGGI DARI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW.
MENURUT HERZBERG, AGAR PARA KARYAWAN BISA TERMOTIVASI, MAKA MEREKA HENDAKNYA MEMPUNYAI SUATU PEKERJAAN DENGAN ISI YANG SELALU MERANGSANG UNTUK BERPRESTASI.
III. TEORI ERG (EXISTENCE, RELATEDNES AND GROWTH) : ALDERFER
MENURUT TEORI INI ADA TIGA KEBUTUHAN POKOK MANUSIA, YAITU :
- KEBUTUHAN AKAN KEBERADAAN (EXISTENCE NEED),
- KEBUTUHAN HUBUNGAN (RELATEDNES NEED), AND
- KEBUTUHAN UNTUK BERKEMBANG (GROWTH NEED).
TEORI KEBUTUHAN ERG MEMPUNYAI ASUMSI SBB. :
I. TEORI MOTIVASI KEBUTUHAN : ABRAHAN H. MASLOW
TEORI INI LEBIH DIKENAL DENGAN TEORI HIERARCHI KEBUTUHAN.
PERILAKU INDIVIDU MENURUT TEORI INI AKAN DITENTUKAN OLEH KEBUTUHAN YANG PALING KUAT
II. TEORI MOTIVASI HYGIENE : FREDERICK HERZBERG
BIASA JUGA DISEBUT TEORI MOTIVASI DUA FAKTOR :
PADA DASARNYA HAMPIR SAMA DENGAN TEORI MOTIVASI MASLOW.
FAKTOR HYGIENE BERSIFAT PREFENTIF DAN MEMPERHITUNGKAN LINGKUNGAN YANG BERUBUNGAN DENGAN KERJA. FAKTOR INI KIRA-KIRA TIDAK JAUH BEDANYA DENGAN SUSUNAN BAWAH DARI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW.
FAKTOR HYGIENE INI MENCEGAH KETIDAK PUASAN, TETAPI BUKAN PENYEBAB TERJADINYA KEPUASAN.
MENURUT HERZBERG, FAKTOR INI TIDAK MEMOTIVASI KARYAWAN DALAM BEKERJA. ADAPUN FAKTOR YANG DAPAT MEMOTIVASI KARYAWAN ADALAH MOTIVATOR YANG KIRA-KIRA SAMA DENGAN TINGKAT YANG LEBIH TINGGI DARI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW.
MENURUT HERZBERG, AGAR PARA KARYAWAN BISA TERMOTIVASI, MAKA MEREKA HENDAKNYA MEMPUNYAI SUATU PEKERJAAN DENGAN ISI YANG SELALU MERANGSANG UNTUK BERPRESTASI.
III. TEORI ERG (EXISTENCE, RELATEDNES AND GROWTH) : ALDERFER
MENURUT TEORI INI ADA TIGA KEBUTUHAN POKOK MANUSIA, YAITU :
- KEBUTUHAN AKAN KEBERADAAN (EXISTENCE NEED),
- KEBUTUHAN HUBUNGAN (RELATEDNES NEED), AND
- KEBUTUHAN UNTUK BERKEMBANG (GROWTH NEED).
TEORI KEBUTUHAN ERG MEMPUNYAI ASUMSI SBB. :
·
APABILA KEBUTUHAN KEBERADAAN KURANG
TERPENUHI, MAKA INDIVIDU AKAN TERDORONG UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN TERSEBUT.
·
APABILA KEBUTUHAN BERHUBUNGAN DENGAN ORANG
LAIN KURANG TERPENUHI, MAKA INDIVIDU TERDORONG UNTUK MEMENUHINYA.
·
APABILA KEBUTUHAN AKAN BERTUMBUHAN KURANG
TERPENUHI, MAKA MAKIN BESAR HASRAT INDIVIDU UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN AKAN
PERTUMBUHAN TERSEBUT.
IV. TEORI MOTIVASI BERPRESTASI : DAVID MC CLELLAND
MANUSIA PADA HAKEKATNYA MEMPUNYAI KEMAMPUAN UNTUK BERPRESTASI DI ATAS KEMAMPUAN ORANG LAIN.
SESEORANG DIANGGAP MEMPUNYAI MOTIVASI UNTUK BERPRESTASI JIKA IA MEMPUNYAI KEINGINAN UNTUK MELAKUKAN SESUATU KARYA YANG BERPRESTASI LEBIH BAIK DARI PADA PRESTASI ORANG LAIN.
MENURUT TEORI INI KEBUTUHAN MANUSIA ADA TIGA, YAITU :.
·
KEBUTUHAN AKAN KEKUASAAN
·
KEBUTUHAN AKAN BERAFILIASI
·
KEBUTUHAN AKAN BERPRESTASI
APABILA KEBUTUHANNYA TELAH MENDESAK, MAKA KEBUTUHAN ITU AKAN TERMOTIVASI UNTUK MEMENUHINYA.
JIKA KEBUTUHAN AKAN KEKUASAAN MAKIN TINGGI, MAKA ORANG AKAN BERUSAHA UNTUK BERSIKAP SENANG MEMBERI PERHATIAN UNTUK MEMPENGARUHI DAN MENGENDALIKAN ORANG LAIN, MENCARI POSISI PIMPINAN, BERUSAHA TAMPIL BERBICARA DIMUKA UMUM, DSB.
JIKA KEBUTUHAN AKAN AFILIASI MENDESAK, MAKA ORANG AKAN BERSIKAP DAN BERTINDAK UNTUK MEMBENTUK ORANG LAIN YANG MEMBUTUHKAN, BERUSAHA MEMBINA HUBUNGAN YANG MENYENANGKAN DAN SALING PENGERTIAN.
JIKA KEBUTUHAN AKAN BERPRESTASI MAKIN TINGGI, MAKA ORANG AKAN BERUSAHA MENETAPKAN SUATU TUJUAN YANG PENUH TANTANGAN NAMUN MASIH MUNGKIN DICAPAI, MELAKUKAN PENDEKATAN YANG REALISTIS TERHADAP RESIKO, BERTANGGUNG JAWAB ATAS PENYELESAIANNYA.
TEORI PROSES : (PENDEKATAN PROSES)
1. TEORI EKSPEKTASI (HARAPAN) : VICTOR VOOM
MARTUR LUTHER BERPENDAPAT BAHWA SEGALA SESUATU YANG DILAKUKAN DI DUNIA INI DILANDASI OLEH HARAPAN (INILAH LANDASAN TEORI VOOM.
TEORI INI BERPENDAPAT BAHWA PERILAKU KERJA INDIVIDU DITENTUKAN DENGAN MEMPERKIRAKAN HASIL ALTERNATIF YANG AKAN DIPEROLEH MELALUI PERILAKU TERSEBUT.
INDIVIDU DAPAT DIMOTIVASI UNTUK BERPERILAKU KERJA TERTENTU BILA :
·
ADA HARAPAN BAHWA BILA USAHA DITINGKATKAN
AKAN MENDAPAT BALAS JASA.
·
ADANYA PRESTASI DARI ORANG YANG
BERSANGKUTAN BAHWA ADA KEMUNGKINAN TUJUAN AKAN TERCAPAI DAN IA AKAN MENERIMA
JASA.
KUATNYA KECENDERUNGAN ORANG BERTINDAK DENGAN CARA TERTENTU TERGANTUNG PADA KEKUATAN HARAPAN BAHWA TINDAKAN TERSEBUT AKAN DIIKUTI OLEH SUATU HASIL TERTENTU.
2. TEORI PENENTUAN TUJUAN
INTI TEORI INI ADALAH BAHWA KEJELASAN TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI OLEH SESEORANG DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA AKAN MENUMBUHKAN MOTIVASI YANG SEMAKIN BESAR.
SEMAKIN TINGGI PENERIMAAN PARA PELAKSANA ATAS KEPANTASAN DAN KELAYAKAN TUJUAN TERTENTU UNTUK DICAPAI, SEMAKIN TINGGI PULA MOTIVASINYA UNTUK MENCAPAI TUJUAN TERSEBUT.
APABILA SESEORANG TERLIBAT LANGSUNG DALAM MENUTUSKAN TUJUAN YANG AKAN DICAPAI, MAKA IA AKAN MERASA BAHWA KEPUTUSAN TERSEBUT ADALAH KEPUTUSANNYA SENDIRI, SEHINGGA TERDAPAT MOTIVASI YANG KUAT UNTUK MENCAPAINYA.
JADI TEORI PENENTUAN TUJUAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN “KOGNITIF”
3. TEORI PENGUATAN
TEORI PENGUATAN MERUPAKAN KEBALIKAN DARI TEORI PENENTUAN TUJUAN.
INTI TEORI INI TERLETAK PADA PANDANGAN YANG MENGATAKAN BAHWA JIKA TINDAKAN SEORANG MANAJER OLEH BAWAHAN DIPANDANG MENDORONG PERILAKU POSITIF TERTENTU, MAKA BAWAHAN TERSEBUT CENDERUNG MENGULANGI TINDAKAN SERUPA., DEMIKIAN JUGA SEBALIKNYA.....
SINGKATNYA, MOTIVASI SEORANG KARYAWAN UNTUK MELAKUKAN ATAU TIDAK MELAKUKAN SESUATU SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR-FAKTOR DILUAR DIRINYA, SEPERTI SIKAP PIMPINAN, PENGARUH REKAN KERJA, DAN SEJENISNYA. JADI BUKAN KARENA FAKTOR KOGNITIF YANG TERDAPAT DALAM DIRI SESEORANG.
4. TEORI KEADILAN (EQUITY)
KEADILAN MENYANGKUT PERSEPSI SESEORANG TENTANG PERLAKUKAN YANG DITERIMA DARI ORANG LAIN. BIASANYA SESEORANG AKAN MENGATAKAN BAHWA DIRINYA DIPERLAKUKAN DENGAN ADIL APABILA PERLAKUAN ITU MENGUNTUNGKAN, SEBALIKNYA AKAN MENGATAKAN TIDAK ADIL APABILA PERLAKUAN YANG DITERIMA DIRASAKAN MERUGIKANNYA.
DALAM MENUMBUHKAN PERSEPSI TERSEBUT SESEORANG AKAN MENGGUNAKAN TIGA KATEGORI REFERENSI : YAITU :
·
ORANG LAIN
·
SISTEM YANG BERLAKU (TERUTAMA YANG
MENYANGKUT UPAH DAN GAJI)
·
DIRI SENDIRI
0 komentar:
Posting Komentar